Pemerintah Kota Solo melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) bakal memungut pajak dari pedagang kaki lima (PKL) yang biasa beroperasi di kawasan protokol, trotoar, jalur strategis, dan jalan provinsi maupun pusat.
Adapun rinciannya meliputi 10 persen untuk pendapatan kotor Rp 10 juta per bulan, 5 persen bagi PKL dengan pendapatan kotor Rp 5 juta per bulan, dan terakhir adalah PKL dengan pendapatan kotor Rp 1 juta dengan penarikan 3 persen. Rencananya jika rancangan Perda ini tidak mengalami kendala akan diberlakukan mulai tahun 2012.
Implikasi Sosial
Sebenarnya jika bicara penetapan pajak untuk PKL, pada intinya telah didasarkan pada hasil lampiran evaluasi XII Gubernur Jateng serta implikasi sosial yang timbul di masyarakat. Implikasi tersebut meliputi kesemrawutan PKL yang berjualan di lokasi yang tidak dibenarkan, penarikan retribusi yang bersifat ilegal, bahkan yang lebih parah mengganggu arus lalu lintas. Maka tak heran jika implikasi sosial yang merupakan pertimbangan Perda hanya didasarkan pada sudut pandang estetika yakni penertiban, namun tidak diimbangi dengan unsur sosial. Di mana pedagang dipaksa untuk membayar pajak tanpa melihat kondisi sosial dari masyarakat.
Sungguh ironis dan salah kaprah jika pemerintah hanya mendasarkan satu aspek saja yakni unsur yuridis. Padahal jika dilihat dari materi pembentukan Perda, unsur sosiologis maupun kaidah sosial merupakan satu kesatuan pembentukan aturan yang tidak bisa dipisahkan dengan unsur yuridis.
Mengingat hukum adalah sarana perubahan sosial yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Selain itu jika dilihat dari track record maupun pengembangan kawasan Solo, kota dengan slogan Spirit of Java ini mempunyai reputasi yang bagus dalam penataan PKL. Maka tak heran jika Solo disebut-sebut sebagai daerah yang penataan kotanya bagus sehingga dicontoh oleh daerah lain.
Dengan demikian, jika pemerintah ingin lebih baik, Perda PKL jangan hanya mendasarkan pada hasil evaluasi Gubernur Jateng dan Kementerian Keuangan tapi mengabaikan substansi pembuatan aturan. Namun penentuan Perda juga harus memperhatikan unsur kemanfaatan dalam bidang hukum.
Jika ini dibiarkan terus menerus, tidak mustahil pintu demokrasi yang telah dielu-elukan sejak era reformasi semakin terpasung, public hearing yang tadinya menjaring aspirasi masyarakat bisa jadi akan dianggap gonggongan anjing yang melolong. Hasilnya produk hukum yang dibuat pemerintah bersama legislatif hanya mengakomodir kepentingan penguasa saja.